Wednesday, 23 April 2014

Soekarno Dan Pemikiran Kiri

“Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala jaman. Teori-teorinya haruslah diubah, kalau jaman itu berubah; teori-teorinya haruslah diikutkan pada perubahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut.”– Soekarno

Sejarah mencatat, genealogi pergerakan nasional Indonesia menuju Revolusi Agustus 1945 terbagi ke dalam dua jalan: koperatif dan non koperatif. Sehingga Revolusi Indonesia diperjuangkan atas dasar prinsip-prinsip nasionalisme yang diwarnai sosialisme. Baik pemimpin maupun organisasi-organisasi sosial politik di masa revolusi pada umumnya adalah sayap kiri.
Pendapat ini kemudian didukung oleh pernyataan Sukarno yang pernah menyebut dirinya seorang kiri. Bahkan hingga ke anak cucunya. Inilah yang ingin disampaikan oleh Peter Kasenda dalam bukunya berjudul: Sukarno, Marxisme dan Leninisme. Akar Pemikiran dan Revolusi Indonesia.
Istilah kiri di Indonesia dimaknai seiring berjalannya waktu. Jikalau kiri kemudian bermula pada peristiwa menuju Revolusi Perancis. Ketika golongan borjuis pembela rakyat duduk berada di sebelah kiri mimbar yang menjadi tempat duduk ketua parlemen. Namun dalam perkembangan selanjutnya pengertiannya menjadi tidak sepenuhnya demikian.
Mengartikan bahwa golongan kiri hanya terbatas pada pemaknaan golongan pembela rakyat saja, bisa menjadi sangat rancu ketika banyak golongan rohaniawan dan kaum ulama ternyata juga ikut mengangkat persoalan rakyat dan memperjuangkannya. Tentu mereka dengan pasti menolak disebut sebagai kiri.
Cara mendefinisikan kiri semacam ini memiliki kelemahan. Tapi yang jelas, dunia internasional merujuk istilah kiri pada gagasan Marx sebagai cara berpikir, cara melihat, dan cara menganalisa persoalan. Yang kemudian semakin menjadi simbolisasi ketika kaum Bolshevik berhasil merebut kekuasaan dari tangan Tsar. Dan istilah kiri hinggap pada sebuah kenyataan hidup yang bernama komunisme (marxisme-leninisme).

Sukarno, Kiri, dan Revolusi Indonesia

Di Indonesia sendiri, hampir tidak pernah ada tokoh-tokoh pergerakan yang meninggalkan gagasan marxisme leninisme. Entah hanya sebagai konsumsi intelektual, maupun sebagai sebuah tindakan praktis. Hal ini terlihat dalam pemikirannya yang tertulis maupun mewujud dalam organisasi-organisasi yang dilakoninya.
Dalam buku ini penulis membagi secara kritis filsafat yang mendominasi pada masa itu adalah sintesis dari ketiga ketegangan, yaitu (1) prinsip-prinsip nasionalis revolusioner dalam tradisi yang ada pada 1927, yang diprakarsai oleh PNI dan terhimpun begitu fasihnya dalam Indonesia Menggugat; (2) sosialisme elektis yang disodorkan oleh Hatta dan Sjahrir (3) sosialisme religius yang berakar tahunan sejak Sarekat Islam. [Hal 24]
Penulis yang juga merupakan alumni Sejarah Universitas Indonesia ini meyakini bahwa konsep-konsep itu telah membimbing para pemimpin bangsa selama revolusi. Kendati Pancasila, khususnya prinsip tentang nasionalisme, mungkin amat mewakili keseluruhan revolusi bangsa Indonesia, masih terdapat tulisan-tulisan lain pada masa itu. Meskipun hanya beredar di kalangan terbatas. Akan tetapi cukup mendukung revolusi.
Buku ini kental sekali memposisikan Sukarno sebagai objek kajiannya. Sebab penulis sudah menekuni kehidupan pribadi serta pemikiran Sukarno sejak di bangku kuliah. Dalam buku ini penulis menyejajarkan Sukarno dengan Lenin.
Selain karena Sukarno yang dikenal sebagai bapak pendiri bangsa. Juga karena Sukarno sejak awal sudah gandrung akan pemikiran-pemikiran Marx dan semasa aktif dalam kelompok-kelompok diskusi di Bandung. Sukarno dan kawan-kawannya sering pula mendiskusikan gagasan Lenin dan menganalisis Revolusi Oktober yang terjadi pada tahun 1917.
Meskipun Sukarno tidak mendefinisikan masyarakatnya ke dalam dua kelas seperti yang diungkapkan oleh marxisme -leninisme: borjuis dan proletar. Di sini Sukarno memiliki prinsipnya sendiri dengan memakai istilah Marhaen dalam menyebut petani kecil, buruh kecil, dan nelayan kecil. Bagi Marx, justru tidak semua kelas bawah di segala zaman bersifat revolusioner. Agar sebuah kelas itu dalam proses produksi harus kondusif ke arah perkembangan kesadaran kelas revolusioner. “Orang kecil” bagi analisis marxis terlalu kabur sehingga tidak dapat dipakai.
Sedangkan perbedaan antara Sukarno dengan Lenin ada pada gagasan partai pelopor (1) partai pelopor Sukarno tidak memiliki ciri-ciri partai pelopor Lenin (2) tidak ada syarat-syarat keanggotaan, yaitu syarat bahwa anggota kaum revolusioner, profesional purnawaktu dan sebaiknya diambil dari kaum intelektual. Maka dari itu, jika melihat fungsi partai Sukarno lebih dekat kepada Marx ketimbang Lenin.
Oleh karena itu, buku yang berisi sejumlah kumpulan artikel yang ditulis dan pernah dipersentasikan Peter Kasenda dalam kuliah dan workshop ini adalah akumulasi pemikiran dalam mengawal proses Revolusi Indonesia. Dimana dibangun atas dasar ide-ide revolusioner macam marxisme-leninisme. Kemudian mengenalkan kaum pergerakan kala itu pada cara berorganisasi serta model perlawanan terhadap kolonialisme.
Meski dalam buku ini banyak menceritakan tentang kiprah PKI sebagai anak zaman dalam Revolusi Indonesia. Lagi-lagi, penulis menempatkan Sukarno sebagai bapak penuntun. Ketika ada teori dan praktik revolusi yang tidak sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia.
Hadirnya buku ini pun sesungguhnya menjadi pelurus terhadap istilah kiri yang cenderung pada ideologi marxisme -leninisme. Dimana masa pemerintahan Suharto diberi label haram hanya karena motivasi sentimentil kepada salah satu organisasi untuk melanggengkan kepentingan-kepentingan tertentu yang akhirnya malah mengakibatkan pembunuhan massal serta masuknya modal asing secara masif.
Padahal jika membaca buku ini, sesungguhnya marxisme -leninisme pernah dipakai oleh para bapak bangsa sebagai cara berpikir dan cara melihat. Sehingga buku ini layak untuk dibaca siapapun yang ingin meluruskan sejarah pemikiran di Indonesia. Dimana kita sudah tidak mesti takut lagi dengan istilah kiri. Kalau Sukarno saja pernah lantang menyatakan bahwa dia seorang kiri.

No comments:

Post a Comment